Senin, 12 Juli 2010

HAKIKAT ILMU

Aku melihat seakan-akan diriku berada di hadapan Allah Azza wa-Jalla, lalu Dia berfirman: “Janganlah engkau merasa aman dari makarku

sedikitpun walaupun Aku menjaminmu. Sebab ilmu-Ku tidak bisa dijangkau oleh orang yang menjangkau. Demikian pula kondisi mereka. Janganlah engkau menoleh pada ilmu, amal dan pertolongan. Jadikan dirimu bersama-Ku dan bagi-Ku dalam seluruh (ilmu, amal, pertolongan) selamanya.”

Janganlah engkau sebarkan ilmumu agar engkau dibenarkan oleh manusia. Namun sebarkanlah ilmumu agar Allah membenarkan dirimu, walaupun ada sebab yang mencercamu. Maka sebab yang ada diantara dirimu dan Allah dimana datangnya dari arah perintah-Nya kepadamu itu lebih baik bagimu daripada sebab yang ada diantara dirimu dan manusia, dari sisi, dimana Allah melarangmu.

Suatu sebab yang engkau bisa kembali kepada Allah lebih baik dari sebab yang memutuskan dirimu dengan Allah. Untuk tujuan itulah Allah mengaitkan dirimu dengan pahala dan siksa. Sebab tak ada yang diharapkan dan ditakuti kecuali dari sisi Allah. Allah cukup sebagai Pendamping dan Pembenar.
Hendaknya engkau selalu bersama Allah sebagai orang yang alim dan pengajar. Cukuplah Allah sebagai Penunjuk, Penolong dan Kekasih. Yakni Penunjuk yang memberi petunjuk padamu, dan menunjukkan bersamamu dan kepadamu; Penolong yang menolongmu, menolong bersamamu dan tidak menolong yang membuatmu sengsara; sebagai Kekasih yang mengasihimu, mengasihi bersamamu dan tidak mengasihi yang mencelakakanmu.

Ilmu-ilmu ini mengandung beberapa firasat dan penjelasan dalam obyek-obyek jiwa, dalam bisikan-bisikan, cobaan dan kehendak jiwa. Hati, harus melakukan analisa, penentraman dan pendasaran menurut jalan tauhid dan syariat, dengan kejernihan mahabbah dan keikhlasan demi agama dan sunnah.
Setelah itu, mereka mendapatkan tambahan-tambahan dalam tahap-tahap yaqin: berupa zuhud, sabar, syukur, harapan, ketakutan, tawakkal, ridha dan sebagainya, dari tahap-tahap yaqin. Inilah jalan para penempuh amal bagi Allah.

Sedangkan Ahlullah dan kalangan khusus-Nya, adalah kaum yang ditarik dari keburukan dan prinsip-prinsipnya. Mereka diperamalkan untuk kebajikan dan cabang-cabangnya. Mereka dicintakan untuk khalwat, dan dibukakan pintu jalan munajat. Allah memperkenalkan diri pada mereka, sehingga merekapun kenal Dia. Allah memberikan kecintaan kepada mereka sehingga mereka mencintai-Nya.

Allah menunjukkan jalan dan mereka menempuh jalan itu. Mereka selalu bersama-Nya dan bagi-Nya. Mereka tidak dibiarkan untuk yang lain-Nya, dan mereka tidak ditutupi dari-Nya. Namun justru mereka tertutup —bersama-Nya— dari selain-Nya. Mereka tidak mengenal selain Dia dan tidak pula mencintai selain Dia. ”Mereka adalah orang-orang yang oleh Allah diberi petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang memiliki hati nurani.”

Aku pernah melihat Nabi saw. bersama Nuh as, dan seorang Malaikat ada diantara beliau berdua. Lalu Nabi saw, bersabda, ”Seandainya Nuh mengetahui kaumnya sebagaimana Muhammad —‘alaihis shalatu wassalam— mengetahui kaumnya, tentu Nuh tidak akan berdoa atas kaumnya, dengan ucapannya, “Tuhanku, janganlah engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (Q.s. Nuh: 26-27). Inilah posisi ilmu hakiki yang tidak bisa dirubah.

Seandainya Muhammad —‘alaihis shalatu wasssalam— mengetahui kaumnya sebagaimana pengetahuan Nuh —‘alaihis salam— ia tidak akan menangguhkan sekejap mata pun, tetapi ia mengetahui bahwa dalam tulang punggung mereka ada orang yang beriman kepada-Nya dan menyiapkan (diri) untuk bertemu Tuhan-Nya, — lalu Nabi saw. bersabda, — “Ya Allah ampunilah dosa kaumku, sebab mereka sesungguhnya tidak mengetahui.”

Semua di dasarkan pengetahuan dan bukti dari Allah. Maka setiap masing-masing harus menetapi apa yang ada dari do’a. Kemudian Nabi saw. bersabda, “Bukankah demikian?” Mereka berdua menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa memerangi diri sendiri, hawa nafsunya, syetan dan syahwatnya serta dunianya, lantas ia kalah, berarti ia tertolong dan diberi pahala. Dan barangsiapa memerangi semua itu, lalu ia kalah ia tergolong diampuni dan diterima syukurnya, sepanjang tidak terus menerus berbuat dosa, atau rela pada aib, atau gugur dalam rasa ketakutan dalam batin. Barang siapa berada dalam salah satu tiga kategori di atas dan ia tahu bahwa ia punya Tuhan Yang Maha Pengampun dosa dan menyiksa akibat dosa itu, serta ia iman terhadap seluruh qadar dan takut dari dosanya, merasa takut kepada Tuhannya, maka rahmat akan datang lebih cepat kepadanya dibanding tetes hujan yang jatuh ke bumi-Nya.” Dan Allah pun berfirman, ”Yang paling Kukasihi pada hamba-Ku, manakala ia usai menghadap-Ku, dan paling agung di sisi-Ku jika hamba-Ku menghadap pada-Ku.”

Sementara orang yang hancur adalah orang yang bergembira dengan maksiatnya manakala diberikan peluang padanya, dan susah gelisah manakala ia tidak bermaksiat. Ia merasa bangga dengan tindakan maksiat itu, dan tidak mau menutupinya. Maka kita mohon perlindungan dari Allah, dan ia berada dalam kehendak Allah.

Hakikat ilmu itu disebut baik manakala ia tenteram dalam kebajikan ilmu. Sedangkan hakikat ilmu itu disebut buruk manakala, ia keluar dari ilmu itu. Ilmu itu bagi hati ibarat dirham-dirham dan dinar-dinar di tangan. Bisa bermanfaat bagimu bisa pula membahayakanmu.

Ada tujuh kategori, hendaknya hatimu engkau hindarkan dari tujuh perkara itu:
1) Tak ada ilmu dan,
2) tak ada amal,
3) tak ada keistmewaan,
4) dan tak ada titipan ruhani,
5) tak ada tempat-tempat singgah jiwa,
6) dan tak ada bisikan-bisikan ruhani,
7) tak ada hakikat-hakikat yang bisa menyelamatakan dirimu dari takdir Allah swt.
Ilmu yang hakiki adalah ilmu yang tidak dicampuri oleh kontradiksi dan bukti-bukti yang menafikan contoh dan keraguan, sebagaimana Ilmu Rasul saw, Ilmu orang yang benar, serta ilmu Wali. Siapa pun yang memasuki medan tersebut ibaratnya seperti orang yang tenggelam dalam samudera, kemudian ia ditelan oleh ombak, lalu kontradiksi manakah yang muncul (dalam situasi seperti itu) yang bisa didapatkan, dicampurkan, didengar atau dilihat. Sedangkan siapa yang tidak memasuki medan tersebut ia sangat membutuhkan ayat “Tiada satu pun yang menyamai-Nya”.

Jika engkau bermajlis dengan para Ulama, janganlah bicara dengan mereka kecuali dengan ilmu-ilmu Naqliyah dan riwayat hadits yang shahih. Bisa jadi engkau memberi manfaat terhadap mereka atau sebaliknya engkau bisa meraih manfaat dari mereka. Itulah keuntungan terbesar dari mereka.

Namun, jika engkau bermajlis dengan para ahli Ibadah dan penghambaan kepada Allah disertai kepatuhan dan cinta mutlak. Manusia diciptakan untuk "mengenal dan mengetahui" Allah. Oleh karena itu, makna esensial dari ibadah adalah Mengenal Allah (ma\'rifatullah). Allah berfirman dalam Al-Quran, "Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar beribadah kepada-Ku" (QS Al-Dzariyat [51]:56). Nabi Muhammad bersabda, "Kesempurnaan (ihsan) ialah menyembah (mengenal) Allah seperti engkau melihat-Nya."I


', CAPTION, 'Ibadah',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();"> ibadah
dan ahli zuhud, maka duduklah dengan mereka di atas tikar zuhud dan ibadah. Itu membuat mereka mudah memberikan solusi atas lintasan ketetapannya dan membuat mudah apa yang menjadi kesulitannya, serta rasa kema’rifatan mereka sepanjang mereka belum merasakannya.

Apabila engkau bermajlis dengan kaum Shiddiqin, maka pisahkan apa yang engkau ketahui, maka engkau akan mendapatkan ilmu yang terpendam.

HIDANGAN KEIKHLASAN

Mau menghidangkan menu utama Keikhlasan? Wah, resepnya mudah, tapi menyiapkannnya, memasaknya, apalagi memakannya, serasa agak berat. Tapi usai meminum dan makan sajian menu Keikhlasan ini, seluruh tubuh dan jiwa serasa segar dan sehatnya bukan main. Awalnya seperti merasa akan minum jamu yang pahit, tapi begitu sampai di tenggorokan, lapar dan dahaga ruhani semakin memuncak.

Untuk menyiapkan menu ini, perlu dua persiapan:
Persiapan pertama, membuang hal-hal yang mebuat sajian keikhlasan ini rusak dan tidak bisa disajikan sama sekali. Hal-hal yang perlu dibuang, antara lain:
- Buanglah bumbu-bumbu yang merangsang otak dan hati kita mengingat-ingat amal baik dan Ibadah dan penghambaan kepada Allah disertai kepatuhan dan cinta mutlak. Manusia diciptakan untuk "mengenal dan mengetahui" Allah. Oleh karena itu, makna esensial dari ibadah adalah Mengenal Allah (ma\'rifatullah). Allah berfirman dalam Al-Quran, "Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar beribadah kepada-Ku" (QS Al-Dzariyat [51]:56). Nabi Muhammad bersabda, "Kesempurnaan (ihsan) ialah menyembah (mengenal) Allah seperti engkau melihat-Nya."I


', CAPTION, 'Ibadah',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();"> ibadah
kita.
- Buanglah kulit-kulit bumbu yang memicu kita untuk minta ganti rugi kepada Allah Ta’ala.
- Buanglah rasa puas terhadap amal ibadah kita.

Untuk memulai meracik bumbunya:
- Menghadapkan ke depan, lihatlah siapa di hadapanmu….Allah Ta’ala.
- Lihatlah dirimu darimana, kemana, dengan siapa, bersama siapa, beserta siapa, dalam apa, bagi siapa, dan bersandar pada siapa?
- Mulailah menyiapkan menunya dengan pilihan-pilihan dariNya….
- Sajikan nantinya di atas meja hamparan KeindahanNya…
- Siapkan kursi-kursi tawakkal, kursi Tafwidh dan kursi Istislam kepadaNya…
Wallahu A’lam, apakah yang akan memakannya, menikmati menunya, nanti kalangan Mukhlisihin, atau kalangan Mukhlashin. Wallahu A’lam. Yang jelas, Ikhlas itu biji rahasiaNya yang ditanamkan dalam rahasia batin hambaNya, yang dicintaiNya.

TERSESAT DI SURGA

Seorang pemuda, ahli amal Ibadah dan penghambaan kepada Allah disertai kepatuhan dan cinta mutlak. Manusia diciptakan untuk "mengenal dan mengetahui" Allah. Oleh karena itu, makna esensial dari ibadah adalah Mengenal Allah (ma\'rifatullah). Allah berfirman dalam Al-Quran, "Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar beribadah kepada-Ku" (QS Al-Dzariyat [51]:56). Nabi Muhammad bersabda, "Kesempurnaan (ihsan) ialah menyembah (mengenal) Allah seperti engkau melihat-Nya."I


', CAPTION, 'Ibadah',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();"> ibadah
datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”

“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”

“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”

Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”

“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.

Sabtu, 10 Juli 2010

DERAJAT KEARIFAN

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Riwayat dari Irman bin Hashin, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw, bersabda:
“Dari ummatku bakal masuk syurga tujuh puluh ribu orang tanpa hisab.” Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai

Rasulullah?” Rasulullah saw, bersabda, “Mereka itu adalah orang yang tidak pernah melakukan ruqyah, tidak pernah meramal, tidak pernah berbekam, dan mereka senantiasa tawakkal kepada Allah.” (Hr. Muslim)

Rasulullah saw, memposisikan “ramalan” di urutan kedua, setelah berupaya untuk tidak berobat yang merupakan derajat murni sejati, yang tergolong ahli fana’, dan mereka senantiasa dalam Kehendak Allah swt.

Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka. Namun betapa sedikit jumlah mereka dalam setiap periode. Karena derajat mereka adalah mewujudkan hakikat tawakkal kepada Allah swt. Kepasrahan total yang meliputi seluruh instrument sebab akibat dan kehendak. Merekalah kaum ‘Arifin Billah yang sesungguhnya, semoga Allah meridloi mereka.
Amboi, jika orang ‘Alim itu terbagi dua:
1.) Satu golongan yang membuatku terbebas dari keraguan.
2.) Satu golongan yang menggunting-gunting diriku dari gunting neraka. Tak lebih dan tak kurang mereka itu, dimataku.

Anak-anak sekalian…Ketahuilah orang ‘arif kepada Allah swt dengan ma’rifat yang benar, senantiasa terhanguskan hasratnya di bawah keceriaan dalam WahdaniyahNya. Dan tak ada keceriaan mulai dari Arasy sampai muka bumi yang lebih besar ketibang kegembiraan ma’rifat kepada Allah swt.

Syurga seisinya itu dibanding sisi kegembiraan mereka kepada Allah swt, nilainya sangat kecil, lebih kecil dibanding atom, ketika mereka tahu bahwa ma’rifat adalah kegembiraan paling agung dari segala kegembiraan mana pun.

Siapa yang bertemu Allah swt, maka mana yang tak bisa ditemukan? Kesibukan apalagi yang akan dilakukan setelah bertemu denganNya? Bukankah melihat selain Allah itu tak lebih dari keliaran nafsu belaka? Hasrat yang rendah? Dan minimnya ma’rifat kepada Allah Ta’ala?

Adakah pakaian yang lebih baik dibanding baju Islam? Apakah ada mahkota yang lebih agung ketimbang mahkota ma’rifat? Atau adakah hamparan yang lebih mulia ketimbang hamparan taat?
Allah swt berfirman:
“Katakan, dengan karunia Allah dan dengan rahmatNya, maka dengan karunia dan rahmat itulah kalian semua bergembira…”

Dalam sebagian munajatnya Ibrahim bin Adham ra mengatakan:
“Illahi, Engkau Maha Tahu syurga dan seisinya, rasanya tak melintas padaku walau sesayap nyamuk setelah Engkau beri aku ma’rifat kepadaMu, dan kemesraanku kepadaMu, dan Engkau telah membuatkan mencurah untuk tafakkur atas keagunganMu, serta Engkau telah menjanjikan padaku untuk memandang WajahMu.”

Memang. Sesungguhnya derajat terendah kaum ‘arifin itu, manakala Allah memasukkannya ke dalam neraka yang diliputi adzab, maka hatinya malah tambah cinta kepadaNya, semakin mesra sukacita padaNya, dan semakin rindu kepadaNya.

Ibnu Sirin ra, berkata, “Jika aku harus memilih antara syurga dan sholat dua rakaat, aku memilih sholat dua rakaat. Karena dalam dua rakaat ada ridlonya Allah swt, taqarrub kepadaNya. Sedang dalam syurga yang ada kesenangan nafsu dan kesenangan manusia.”

Ketika Nabi Ibrahim as, dilemparkan ke dalam api, “Mereka mengatakan, bakarlah dia, dan mintalah pertolongan pada Tuhan kalian!” kata mereka.

Nabi Ibrahim as, menjawab, “Cukuplah bagiku Tuhanku dan Dialah sebaik-baik tenmpat berserah diri, sebaik-baik Tuhan dan sebaik-sebaik Penolong.”

Kemudian Allah swt, berfirman, “Wahai api jadilah dirimu dingin sejuk dan menyelamatkan atas Ibrahim.”
Berserah diri Diriwayatkan, ketika Allah swt berfirman kepada Nabi Ibrahim as, “Wahai Ibrahim, engkaulah sahabat dekatKu, dan Aku sahabat dekatmu. [pagebreak]

Maka jangan berpaling dariKu, yang menyebabkan putusnya hubungan kesahabatan antara diriKu dan dirimu, karena orang yang benar-benar mengaku sahabat dekatKu jika dibakar oleh api, hatinya sama sekali tidak bergeser dariKu, karena menghormati kebesaranKu.”

Allah swt juga menyebutkan dalam Al-Qur’an, :
“Ketika Tuhannya berkata kepada Ibrahim, “Islamlah”! Ibrahim menjawab, “Aku Islam kepada Tuhannya Semesta Alam.”
Allah swt mengetahui kepasrahan totalnya (Islam) sampai kemudian ia dilempar dalam api.
Abu Abdullah bin Muqotil ra bermunajat:
“Ilahi, janganlah Engkau masukkan diriku ke dalam neraka, karena api pun bisa menjadi dingin padaku karena cintaku kepadaMu.”

Abu Ayyub As-Sikhtiyani ra berkata, “Neraka itu ditakui, bagi mereka yang lupa akan Tuhannya. Lalu dikatakan pada mereka yang lupa itu: “Rasakan semua atas kelalaianmu dalam pertemuan harimu ini…” dengan segenap balasan amalnya.”
Abu Hafsh ra menegaskan, “Saya sangat khawatir atas ma’rifat sebagian orang, yang sudah ditulis di jubah mereka, “Orang-orang merdekanya Allah setelah dikeluarkan dari neraka…” Namun mereka memohon agar tanda tulisan itu dihapus dari mereka. Jika aku jadi mereka, aku sangat memohon agar tanda itu ditulis di seluruh anggota badanku, dan membuatku cukup bangga: “Akulah dari golongan orang yang dimerdekakan dari neraka…!”

Menurutku, apa yang diraih ahli syurga dalam syurganya adalah Robb Ta’ala, kedekatan padaNya, dan memandangNya serta mendengarkan KalamNya.
Ingat isteri Firaun ketika bermunajat:
“Tuhanku, bangunkan rumah bagiku di sisiMu dalam syurga.”

Sebagaimana disebutkan, “Tetangga dulu, baru rumah.”
Ibrahim bin Adham ra, mengatakan, “Aku sangat malu jika tujuan utamaku adalah makhluk, padahal Allah swt telah berfirman kepada sebagian para NabiNya, “Siapa yang berkehendak pada Kami, ia tak ingin selain diri Kami…”
Sebagian Syeikh Sufi mengatakan, “Aku pernah melihat seorang pemuda di Masjidil Haram sedang dalam kondisi menderita dan kelaparan, saya sangat kasihan padanya. Aku punya seratus dinar dalam kantong, lalu kudekati dia. “Hai sayang, ini buat kebutuhan-kebutuhanmu…”

Pemuda itu tidak menoleh sama sekali padaku, dan aku terus mendesaknya. Pemuda itu berkata, “Hai Syeikh, dinar ini sesuatu yang tidak bias aku jual dengan syurga dan seisinya. Syurga itu negeri keagungan, asal sumber keteguhan dan keabadian. Bagaimana aku menjualnya dengan harga yang hina?”
Abu Musa ad-Daylaby, - pelayan Abu Yazid - semoga Allah merahmati keduanya, berkata, “Aku pernah mendengar seorang Syeikh di Bistham mengatakan, “Aku bermimpi, sepertinya Allah swt berfirman: “Kalian semua sedang mencari sesuatu dariKu – selain Abu Yazid – sesungguhnya dia mencariKu dan menghendakiKu, dan Aku pun menghendakiNya.”[pagebreak]
Abu badullah ra, mengatakan, “Jadikan Allah itu sebagai majlis dan tempat kemesraan. Disiplinlah khidmah pada Tuhanmu. Maka dunia akan datang kepadamu dalam keadaan merana, dan kau diburu akhirat, dan akhirat begitu rindu…”
“Hai pemburu dunia, tinggalkan dunia, maka dunia memburumu!”, lanjutnya.

Abu Said al-Kharraz ra, mengatakan, “Suatu hari aku di tempat wuquf, lalu aku ingin memohon kepada Allah swt sesuatu kebutuhan. Lantas muncul bisikan lembut tanpa suara kepadaku.”Di hadapanmu Allah, kamu masih mencari selain Allah?”

Ada seseorang menulis surat kepada saudaranya, “Amma Ba’du: “Tamparlah muka para penghasrat dunia dengan dunianya, tamparlah pencari akhirat pada wajah pemburunya. Bermesralah dengan Robbul ‘alamin. Wassalam.”

Abu Abdullah an-Nasaj r.a. mengatakan, “Janganlah menumpuk banyak syurga bagi orang beriman, karena Allah akan memberikan kelayakan yang lebih banyak disbanding syurga, yaitu ma’rifat.”
Seseorang sholat jenazah dengan lima kali takbir. Ditanya kenapa sampai lima kali? “Empat takbiranku untuk si mayit. Dan satu untuk dua rumah (dunia-akhirat)…” katanya.

Kisah terjadi ketika ayat Al-Qur’an dibacakan pada Abu Yazid, “Diantara kalian ada yang berharap dunia, dan diantara kalian ada yang berharap akhirat…” Lalu Abu Yazid berkata, “Mana yang berharap kepada Tuhan?”

Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib kw, berkata kepada Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. : “Wahai Khalifah Rasulullah saw, bagaimana anda meraih posisi derajat ini hingga mendahului kami?”
Abu Bakr Shiddiq ara, menjawab, “Dengan lima perkara:”
Pertama : Aku dapatkan manusia dua kelompok; pemburu dunia dan pemburu akhirat, sedangkan aku pemburu Tuhan.
Kedua : Sejak aku masuk Islam, aku tak pernah kenyang dengan makanan dunia.
Ketiga : Aku tak pernah segar minum minuman dunia.
Keempat : Jika muncul di hadapanku dua pilihan amaliah: amal dunia dan amal akhirat, aku pasti memilih amal akhirat.
Kelima : Aku berguru (bersahabat) pada Nabi saw, dan aku senantiasa bersahabat yang sebaik-baiknya.


“Sungguh mulia bagimu wahai Abu Bakr…” kata Sayyidina Ali, kw.

KAIDAH-KAIDAH TASAWUF

Sumber Kata Tasawuf
Istilah bagi sesuatu adalah bagian dari petunjuk maknanya, dirasakan hakikatnya, dan relevan dengan temanya, dan obyeknya menjadi

jelas tanpa ada kejumbuhan, tidak ada cacat yang menyimpang dari kaidah syari’at, tradisi kebaikan, juga tidak menghilangkan kedudukan asli maupun tradisinya, juga tidak kontra dengan cabang dan arah hukumnya, disertai dengan ulasan gramatika kosa katanya, kebenaran tata aturannya, sehingga tidak ada arah sedikit pun untuk mengingkarinya.

Nama Tasawuf muncul dari paradigma yang demikian itu, karena nama tersebut dari bahasa Arab yang memiliki persepsi yang tersusun sempurna, tanpa keraguan maupun kejumbuhan, dan tidak mengandung standar ganda.

Bahkan asal usul kata nama Tasawuf berkelindan dengan rasa di balik namanya, sebagaimana nama Fiqih berkaitan dengan hukum-hukum Islam dan amal-amal lahiriyah lainnya, sedangkan Ilmu Ushul untuk aturan-aturan Iman dan perwujudan maknanya. Maka, secara lazim (niscaya) dalam soal syariat dan iman, berlaku pula dalam Tasawuf, karena adanya kesamaan keduanya dalam soal prinsip dan dalil.

Ucapan-Ucapan Tasawuf: Darimana Sumbernya?
Sumber asal kata itu menentukan aturan menurut terapan makna sumber asli dan cabangnya.Objek dari sumber asal usulnya memberikan pengertian makna dari katanya. Bila berjumlah banyak, akan banyak pula pengertian maknanya. Apabila dimungkinkan untuk dipadukan, maka akan terpadu secara keseluruhan. Bila tidak, masing-masing memiliki kesan terapan makna sendiri-sendiri. Maka harus difahami, agar tidak kontra dengan sumber asal-usulnya.

Banyak sekali wacana mengenai sumber nama Tasawuf, dan saya mengambil lima sumber utamanya:
- Pertama: Ungkapan ash-Shoufah yang berarti wool. Karena ia bersama Allah seperti bulu yang terhamparkan, yang tidak bias mengatur atas dirinya.
- Kedua: Dari kata Shufatul Qofa yang berarti bulu kuduk, karena seorang Sufi senantiasa lemah lembut dan mulia.
- Ketiga: dari kata Shifat (sifat) , karena Sufi senantiasa berkarakter dengan sifat-sifat bagus, dan meninggalkan sifat-sifat tercela.
- Keempat: Dari kata Shofa’ (bening), dan ungkapan ini dibernarkan, sehingga Abul Fath al-Busty ra, (W. 400 H.) bersyair:

Orang-orang saling berseberangan dalam soal Sufi
Mereka menyangka bahwa Sufi bersumber dari Shuuf (wool)
Aku tidak berkenan dengan pendapat itu
Melainkan pada kata Shofa (bening)
Maka seseorang dibeningkan hatinya
Hingga ia disebut dengan Sufi.

- Kelima: Dinukil dari kata Shuffah (sahabat ahlus-shuffah), karena para pelaku Sufi mengikuti jejaknya, atas karakter dan sifat yang ditetapkan oleh Allah swt:
“Dan janganlah engkau berpaling dari orang-orang yang berdoa kepada Tuhannya saat pagi dan petang, (pagi hingga petang, petang hingga pagi) hanya demi mengharap WajahNya…” (Al-An’aam: 52)
Dan kata ini dijadikan sebagai prinsip setiap kata yang kembali pada istilah tasawuf.
Wallahu A’lam.

Tasawuf Tidak Khusus Untuk Fakir dan Kaya
Hukum atas pengikut seperti aturan hukum yang diikuti, walaupun terkadang pengikutnya lebih utama dibanding yang diikuti. Sahabat Ahlush Shuffah pada awalnya adalah kaum fakir, sehingga mereka dikenal sebagai tamu-tamu Allah swt. Namun diantara mereka ada yang kaya, ada penguasa, ada pengusaha dan ada yang fakir. Mereka semuanya terus bersyukur atas apa yang diterimanya, sebagaimana mereka sabar manaka mereka tidak punya. Sama sekali tidak mempengaruhi sifat mereka yang terus menerus taqarrub kepada Tuhannya, dimana mereka disebutkan: “Senantiasa berdoa kepada Tuhannya dari pagi dan petang, semata hanya demi berhasrat pada WajahNya…”

Sebagaimana, mereka itu tidak dipuji karena ketakpunyaan, namun mereka mulia karena hasratnya terhadap Wajah Sang Maha Diraja, dan itu tidak terbatas bagi yang fakir maupun yang cukup atau kaya.
Tasawuf tidak terbatas pada yang miskin maupun kaya, karena pelakunya senantiasa hanya berhasrat kepada Allah Azza wa-Jalla. Fahamilah ini.

Perbedaan Nasab dan Thariqat Tidak Menunjukan Perbedaan Hakikat
Perbedaan nasab (hubungan thariqat) terkadang disebabkan karena perbedaan hakikat, dan kadang-kadang karena perbedaan martabat dalam hakikat yang satu

Disebutkan: Sesungguhnya Tasawuf, Kefakiran, Malamah dan usaha Taqarrub muncul dari hubungan thariqat. Namun juga ada yang mengatakan: Muncul dari perbedan martabat dari hakikat yang satu. Dan inilah yang benar.

Hanya saja, yang disebut sebagai Sufi, adalah yang mengamalkan ajarannya dalam upaya penjernihan dan pembersihan waktunya dari segala hal selain Allah Ta’ala. Apabila selain Allah telah runtuh dari tangannya, maka ia disebut sebagai sang fakir. Sedangkan yang disebut sebagai Al-Malamati adalah yang tidak menampakkan kebaikannya, juga tidak menyembunyikan keburukannya, seperti kebiasaan mereka yang bekerja sehari-hari, yang juga seorang penganut thariqat.

Orang yang taqarrub adalah orang yang perilaku ruhaninya sempurna, sehingga ia bersama Tuhannya dan hanya bagi Tuhannya. Tak ada pengaruh apa pun selain dari Tuhannya dan tidak satu pun tempat baginya kecuali hanya Allah Ta’ala. Maka, perlu anda fahami.

Perbedaan Penempuhan Tidak Harus Berbeda Tujuan
Perbedaan penempuhan jalan Sufi tidak harus membuat berbedanya tujuan utama. Bahkan kadang-kadang bertemu dalam satu kesatuan, walau jalan penempuhannya berbeda, seperti Ibadah dan penghambaan kepada Allah disertai kepatuhan dan cinta mutlak. Manusia diciptakan untuk "mengenal dan mengetahui" Allah. Oleh karena itu, makna esensial dari ibadah adalah Mengenal Allah (ma\'rifatullah). Allah berfirman dalam Al-Quran, "Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar beribadah kepada-Ku" (QS Al-Dzariyat [51]:56). Nabi Muhammad bersabda, "Kesempurnaan (ihsan) ialah menyembah (mengenal) Allah seperti engkau melihat-Nya."I


', CAPTION, 'Ibadah',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();"> ibadah
dan kezuhudan.
Sedangkan ma’rifat merupakan metode dalam rangka mendekati Allah swt, untuk meraih Jalan kemuliaan. Masing-masing saling berkaitan.
Karena itu bagi sang ‘arif harus disiplin ibadahnya, karena jika tidak tekun ibadahnya, kema’rifatannya tidak ada nilainya, karena ia tidak beribadah kepada yang dima’rifati.
Begitu pula sang ‘arif harus menempuh jalan kezuhudan.

KEJUJURAN

Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Ja’far al-Khuldi — rahimahullah — telah memberitahu saya, bahwa mendengar al-Junaid yang berkata, “Barangsiapa mencari sesuatu dengan

kejujuran dan bersungguh-sungguh tentu akan mendapatkannya. Dan seandainya tidak mendapatkan seluruhnya maka akan mendapat sebagiannya.”

Abu Said al-Kharraz — rahimahullah — berkata: Saya bermimpi seakan-akan saya melihat dua malaikat turun dari langit lalu berkata kepada saya, “Apakah kejujuran itu?” Maka saya menjawab, “Menepati janji.” Mereka kemudian berkata, “Anda benar.” Kemudian mereka naik lagi ke langit dan saya masih dapat melihatnya.

Yusuf bin al-Husain — rahimahullah — berkata, “Menurut hemat kami, kejujuran adalah cinta menyendiri, bermunajat kepada Allah, kecocokan antara yang tersembunyi dengan yang lahir disertai dengan kejujuran berbicara, sibuk mengurus diri sendiri tanpa melihat orang lain, menuntut ilmu serta mengamalkannya dalam tata cara makan, adab berpakaian dan mencari rezeki.” Hakim pernah ditanya, “Apa ciri-ciri orang yang jujur?” Maka ia menjawab, “Menyembunyikan ketaatan.” Kemudian ia ditanya lagi, “Apa yang paling menyenangkan hati orang-orang yang jujur?” Ia menjawab, “Menghirup udara segar ampunan Allah dan berbaik sangka kepada Allah swt.”

Dzun-Nun — rahimahullah — berkata, “Kejujuran adalah pedang Allah di bumi. Setiap kali diletakkan pada sesuatu tentu akan memotongnya.”

Al-Harits al-Muhasibi — rahimahullah — ditanya tentang kejujuran, maka ia menjawab, “Kejujuran adalah yang disertakan pada seluruh kondisi spiritual.”

Al-Junaid — rahimahullah — berkata, “Hakikat kejujuran akan berlaku sesuai dengan ketentuan Allah dalam semua kondisi.”

Abu Ya’qub — rahimahullah — berkata, “Kejujuran adalah kecocokan al-Haq dalam rahasia maupun lahiriah. Sedangkan hakikat kejujuran ialah berkata tentang kebenaran dalam
posisi-posisi yang mematikan.”

Sementara kaum Sufi yang lain ditanya tentang kejujuran, maka ia menjawab, “Benarnya menghadap pada tujuan.”

Asas Madzhab kaum Sufi
Dikisahkan dari al-Junaid — rahimahullah — yang mengatakan, “Para ahli ilmu telah sepakat, bahwa pokok-pokok ajaran madzhab mereka ada lima perkara: puasa siang hari, bangun malam, ikhlas dalam beramal, selalu mengawasi amal perbuatannya dengan perhatian yang terus-menerus dan bertawakal kepada Allah swt. dalam segala kondisi.”

Dikisahkan dari Abu Utsman, yang mengatakan, “Landasan dasar kami adalah diam dan merasa cukup dengan ilmu Allah Azza wajalla.”

Al-Junaid — rahimahullah — berkata, “Kekurangan dalam berbagai kondisi spiritual merupakan cabang (furu’) yang tidak membahayakan. Namun yang berbahaya adalah tertinggal dalam kondisi spiritual pokok-pokok ajaran Sufi sekalipun hanya sebesar atom. Sehingga ketika pokok-pokok ajaran Sufi sudah kuat, maka kekurangan yang ada pada cabang tidak akan berbahaya.”

Abu Ahmad al-Qalanisi — rahimahullah — mengatakan, Pokok-pokok ajaran madzhab kami dibangun atas tiga dasar:

(1) Tidak meminta orang lain memenuhi hak kami
(2) Menuntut diri kami sendiri untuk memenuhi hak-hak orang lain
(3) Memastikan diri kami selalu terjadi kekurangan dalam segala yang kami lakukan.

Sahi bin Abdullah — rahimahullah — berkata,
Pokok-pokok ajaran kami ada tujuh perkara:
(1) Berpegang teguh dengan Kitab Allah
(2) Mengikuti jejak Rasulullah saw
(3) Makan makanan yang halal
(4) Tidak menyakiti orang lain
(5) Menjauhi segala perbuatan keji
(6) Bertobat dan
(7) Menunaikan hak-hak orang lain

Saya mendengar al-Hushri — rahimahullah — berkata, “Pokok-pokok ajaran kami ada enam:
(1) Menghilangkan hadast
(2) Menauhidkan al-Qidam (Allah)
(3) Mengasingkan diri dari teman
(4) Meninggalkan tanah air
(5) Melupakan apa yang telah diketahui dan
(6) Melupakan apa yang belum diketahui.

Sebagian kaum fakir (Sufi) mengatakan, Pokok-pokok ajaran kami ada tujuh:
(1) Menunaikan fardhu (kewajiban)
(2) Menjauhi hal yang diharamkan
(3) Memutuskan keterkaitan dengan makhluk
(4) Merangkul kefakiran
(5) Tidak mencari
(6) Tidak menyimpan untuk waktu berikutnya
(7) Mencurahkan segalanya hanya untuk Allah dalam seluruh waktunya.

Ikhlas
Al-Junaid — rahimahullah — ditanya tentang ikhlas, maka ia menjawab, “Anda tidak melihat dari fana dan perbuatan Anda.”

Ibnu ‘Atha’ mengatakan, “Ikhlas adalah sesuatu yang Anda bisa selamat dari bencana.”

Al-Rants al-Muhasibi — rahimahullah — berkata, “Ikhlas adalah mengeluarkan makhluk dan bermuamalah dengan Allah swt. Sementara nafsu (jiwa) adalah makhluk pertama.”

Dzun-Nun — rahimahullah — berkata, “Ikhlas ialah sesuatu yang bisa selamat dari musuh yang bisa merusaknya.”

Abu Ya’qub as-Susi — rahimahullah — berkata, “Ikhlas ialah sesuatu yang tidak diketahui oleh malaikat sehingga ia mencatatnya, atau diketahui oleh musuh sehingga merusaknya dan dirinya tidak merasa kagum dengannya.”

Dikisahkan dari Sahi bin Abdullah — rahimahullah — yang mengatakan, “Orang Islam (yang mengucapkan Ia ilaaha iIIal-lah) itu banyak, namun sedikit sekali di antara mereka yang ikhlas.”

Sahi bin Abdullah mengatakan, “Tidak akan mengetahui riya’ kecuali orang yang ikhlas.”

Lain kali al-Junaid ditanya tentang ikhlas, maka ia menjawab, “Ikhlas adalah mengeluarkan makhluk dan bermuamalah dengan Allah swt. Sementara nafsu (jiwa) adalah makhluk pertama.”

Dan sebagian guru Sufi yang mengatakan, “Jika ada seseorang bertanya, apa ikhlas itu?” Maka jawablah, “Menyatukan tujuan hanya kepada Allah dan mengeluarkan makhluk dan muamalah dengan Allah Azza wajalla dengan meninggalkan upaya dan kekuatan bersama Allah Azza wajalla.”

Sementara itu ciri orang yang ikhlas adalah lebih suka berkhalwat untuk bermunajat kepada Allah swt., kurang mengenal makhluk dengan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak suka diketahui makhluk dalam bermuamalah dengan Allah swt.

Dan barangkali Abu al-Husain an-Nun yang pernah ditanya tentang ikhlas, kemudian ia menjawab, “Tidak kompromi dengan makhluk.”