Sabtu, 10 Juli 2010

KAIDAH-KAIDAH TASAWUF

Sumber Kata Tasawuf
Istilah bagi sesuatu adalah bagian dari petunjuk maknanya, dirasakan hakikatnya, dan relevan dengan temanya, dan obyeknya menjadi

jelas tanpa ada kejumbuhan, tidak ada cacat yang menyimpang dari kaidah syari’at, tradisi kebaikan, juga tidak menghilangkan kedudukan asli maupun tradisinya, juga tidak kontra dengan cabang dan arah hukumnya, disertai dengan ulasan gramatika kosa katanya, kebenaran tata aturannya, sehingga tidak ada arah sedikit pun untuk mengingkarinya.

Nama Tasawuf muncul dari paradigma yang demikian itu, karena nama tersebut dari bahasa Arab yang memiliki persepsi yang tersusun sempurna, tanpa keraguan maupun kejumbuhan, dan tidak mengandung standar ganda.

Bahkan asal usul kata nama Tasawuf berkelindan dengan rasa di balik namanya, sebagaimana nama Fiqih berkaitan dengan hukum-hukum Islam dan amal-amal lahiriyah lainnya, sedangkan Ilmu Ushul untuk aturan-aturan Iman dan perwujudan maknanya. Maka, secara lazim (niscaya) dalam soal syariat dan iman, berlaku pula dalam Tasawuf, karena adanya kesamaan keduanya dalam soal prinsip dan dalil.

Ucapan-Ucapan Tasawuf: Darimana Sumbernya?
Sumber asal kata itu menentukan aturan menurut terapan makna sumber asli dan cabangnya.Objek dari sumber asal usulnya memberikan pengertian makna dari katanya. Bila berjumlah banyak, akan banyak pula pengertian maknanya. Apabila dimungkinkan untuk dipadukan, maka akan terpadu secara keseluruhan. Bila tidak, masing-masing memiliki kesan terapan makna sendiri-sendiri. Maka harus difahami, agar tidak kontra dengan sumber asal-usulnya.

Banyak sekali wacana mengenai sumber nama Tasawuf, dan saya mengambil lima sumber utamanya:
- Pertama: Ungkapan ash-Shoufah yang berarti wool. Karena ia bersama Allah seperti bulu yang terhamparkan, yang tidak bias mengatur atas dirinya.
- Kedua: Dari kata Shufatul Qofa yang berarti bulu kuduk, karena seorang Sufi senantiasa lemah lembut dan mulia.
- Ketiga: dari kata Shifat (sifat) , karena Sufi senantiasa berkarakter dengan sifat-sifat bagus, dan meninggalkan sifat-sifat tercela.
- Keempat: Dari kata Shofa’ (bening), dan ungkapan ini dibernarkan, sehingga Abul Fath al-Busty ra, (W. 400 H.) bersyair:

Orang-orang saling berseberangan dalam soal Sufi
Mereka menyangka bahwa Sufi bersumber dari Shuuf (wool)
Aku tidak berkenan dengan pendapat itu
Melainkan pada kata Shofa (bening)
Maka seseorang dibeningkan hatinya
Hingga ia disebut dengan Sufi.

- Kelima: Dinukil dari kata Shuffah (sahabat ahlus-shuffah), karena para pelaku Sufi mengikuti jejaknya, atas karakter dan sifat yang ditetapkan oleh Allah swt:
“Dan janganlah engkau berpaling dari orang-orang yang berdoa kepada Tuhannya saat pagi dan petang, (pagi hingga petang, petang hingga pagi) hanya demi mengharap WajahNya…” (Al-An’aam: 52)
Dan kata ini dijadikan sebagai prinsip setiap kata yang kembali pada istilah tasawuf.
Wallahu A’lam.

Tasawuf Tidak Khusus Untuk Fakir dan Kaya
Hukum atas pengikut seperti aturan hukum yang diikuti, walaupun terkadang pengikutnya lebih utama dibanding yang diikuti. Sahabat Ahlush Shuffah pada awalnya adalah kaum fakir, sehingga mereka dikenal sebagai tamu-tamu Allah swt. Namun diantara mereka ada yang kaya, ada penguasa, ada pengusaha dan ada yang fakir. Mereka semuanya terus bersyukur atas apa yang diterimanya, sebagaimana mereka sabar manaka mereka tidak punya. Sama sekali tidak mempengaruhi sifat mereka yang terus menerus taqarrub kepada Tuhannya, dimana mereka disebutkan: “Senantiasa berdoa kepada Tuhannya dari pagi dan petang, semata hanya demi berhasrat pada WajahNya…”

Sebagaimana, mereka itu tidak dipuji karena ketakpunyaan, namun mereka mulia karena hasratnya terhadap Wajah Sang Maha Diraja, dan itu tidak terbatas bagi yang fakir maupun yang cukup atau kaya.
Tasawuf tidak terbatas pada yang miskin maupun kaya, karena pelakunya senantiasa hanya berhasrat kepada Allah Azza wa-Jalla. Fahamilah ini.

Perbedaan Nasab dan Thariqat Tidak Menunjukan Perbedaan Hakikat
Perbedaan nasab (hubungan thariqat) terkadang disebabkan karena perbedaan hakikat, dan kadang-kadang karena perbedaan martabat dalam hakikat yang satu

Disebutkan: Sesungguhnya Tasawuf, Kefakiran, Malamah dan usaha Taqarrub muncul dari hubungan thariqat. Namun juga ada yang mengatakan: Muncul dari perbedan martabat dari hakikat yang satu. Dan inilah yang benar.

Hanya saja, yang disebut sebagai Sufi, adalah yang mengamalkan ajarannya dalam upaya penjernihan dan pembersihan waktunya dari segala hal selain Allah Ta’ala. Apabila selain Allah telah runtuh dari tangannya, maka ia disebut sebagai sang fakir. Sedangkan yang disebut sebagai Al-Malamati adalah yang tidak menampakkan kebaikannya, juga tidak menyembunyikan keburukannya, seperti kebiasaan mereka yang bekerja sehari-hari, yang juga seorang penganut thariqat.

Orang yang taqarrub adalah orang yang perilaku ruhaninya sempurna, sehingga ia bersama Tuhannya dan hanya bagi Tuhannya. Tak ada pengaruh apa pun selain dari Tuhannya dan tidak satu pun tempat baginya kecuali hanya Allah Ta’ala. Maka, perlu anda fahami.

Perbedaan Penempuhan Tidak Harus Berbeda Tujuan
Perbedaan penempuhan jalan Sufi tidak harus membuat berbedanya tujuan utama. Bahkan kadang-kadang bertemu dalam satu kesatuan, walau jalan penempuhannya berbeda, seperti Ibadah dan penghambaan kepada Allah disertai kepatuhan dan cinta mutlak. Manusia diciptakan untuk "mengenal dan mengetahui" Allah. Oleh karena itu, makna esensial dari ibadah adalah Mengenal Allah (ma\'rifatullah). Allah berfirman dalam Al-Quran, "Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar beribadah kepada-Ku" (QS Al-Dzariyat [51]:56). Nabi Muhammad bersabda, "Kesempurnaan (ihsan) ialah menyembah (mengenal) Allah seperti engkau melihat-Nya."I


', CAPTION, 'Ibadah',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();"> ibadah
dan kezuhudan.
Sedangkan ma’rifat merupakan metode dalam rangka mendekati Allah swt, untuk meraih Jalan kemuliaan. Masing-masing saling berkaitan.
Karena itu bagi sang ‘arif harus disiplin ibadahnya, karena jika tidak tekun ibadahnya, kema’rifatannya tidak ada nilainya, karena ia tidak beribadah kepada yang dima’rifati.
Begitu pula sang ‘arif harus menempuh jalan kezuhudan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar